Pagi, sekira pukul delapan, anakku, Ninda, meminta untuk dibelikan es krim. Es krim semangka, katanya. Ya, maksudnya es krim yang berbentuk semangka. Bukan es krim rasa semangka.
Rumah saya, tepatnya rumah orang tua saya yang sampai kini menjadi tempat saya menumpang bertempat tinggal, yang dekat dengan pasar memberi kemudahan untuk akses kebutuhan sehari-hari, kami tidak perlu mengeluarkan biaya lebih untuk transportasi jika ingin pergi ke pasar, hanya berjarak sekira dua atau tiga menit dengan naik motor dari rumah. Ya, termasuk keterjangkauan dan kemudaha akses jajan untuk anak-anak yang sulit dihindari. Salah satunya es krim tadi.
Mengingat tempat tinggal kami di pedesaan yang berada di pinggiran, pasar yang ada di desa kami tergolong pasar yang cukup lengkap dan "hidup", bukan sekedar pasar "krempyeng" yang hanya ramai di pagi hari dan tutup kala siang. Di pasar kami, masih banyak toko yang buka hingga malam. Barang-barang yang tersedia di pasar juga cukup lengkap dengan berbagai fariasi dan pilihan harga. Demikian pula dengan jajan untuk anak-anak, semisal es krim yang diminta Ninda, banyak pilihan merek tersedia di pasar, mulai dari yang mahal hingga yang paling murah sekalipun.
Kembali kecerita Ninda yang meminta es krim. Saya mengingat-ingat berapa uang yang saya miliki sambil mengecek kembali beberapa kantong baju dan celana yang kemungkinan pernah saya jadikan tempat menyimpan uang. saya sumringah, masih ada beberapa lembar uang dua ribuan yang kira-kira cukup untuk membelikan es krim Ninda.
Saya berangkat mengajak Ninda pergi ke toko tempat es krim dijual. Kami sampai pada perempatan pasar. Jika kami belok ke arah kanan maka es krim yang tersedia adalah es krim berlogo gambar hati warnanya dominan merah yang harganya cukup mahal itu, dan jika ke arah kiri adalah outlet es krim berlogo warna yang dominan biru yang harganya cukup murah dibandingkan si kompetitor es krim logo warna merah tadi.
Maka, tak perlu ditanyakan lagi kami pergi ke arah mana, jelas kami belok kiri. Dengan uang yang hanya beberapa lembar dua ribuan maka hampir tidak mungkin kami memilih es krim yang berlogo hati warna merah yang harganya cukup mahal. Jika kami mengarah ke sana yang akan kami dapat adalah es krim berbentuk krucut ukuran paling kecil atau es "sunduk" kecil yang "sunduk"nya mirip sendok itu. Maka kamipun memilih outlet es krim berwarna biru yang harganya murah meriah. Dengan uang yang saya punyai sudah cukup untuk membelikan es krim yang diminta Ninda, itupun sudah dapat dua bungkus.
Meskipun, konon, parusahaan es krim yang berwarna biru ini kerap tersangkut masalah dengan para karyawannya. Menurut berita yang beredar, perusahaan yang bersangkutan sering bertindak semena-mena kepada buruh pabrik yang bekerja di sana. Dalam hal gaji, perusahaan ini sering kali ingkar janji kepada buruh, menggaji tidak tepat waktu dengan gaji yang rendah tapi dengan beban kerja yang tidak seharusnya yang akhirnya perusahaan es krim ini juga sempat digruduk oleh serikat pekerja. Atau bahkan, pernah ada seruan boikot produk dari perusahaan ini.
Bukannya saya tidak peduli dengan informasi yang beredar tersebut dan bukan pula karena saya tidak simpati kepada buruh yang diperlakukan seperti itu. Akan tetapi ini murni persoalan motif ekonomi dan kapital yang saya miliki. Maka tak salah, dan sayapun tidak akan tersinggung, jika ada aktifis sosial atau "Sosial Justice Warrior" yang mencela saya dengan celaan "Wong kere nyathek wong kere", orang miskin yang menggigit orang miskin lain. Ha orang miskin kok mau nggigit orang kaya, keburu tergigit duluan, to..
Orang miskin yang memilih apa yang akan dikonsumsinya dengan harga lebih mahal dari kemampuan yang dimilikinya adalah orang miskin yang bodoh. Maka dari pada saya sudah miskin sekaligus bodoh, maka saya membeli es krim yang harganya lebih murah dibanding yang lain, agar tampak agak pinter, meskipun pinternya hanya urusan memilih es krim ini, sih.
Saya hampir yakin, kebanyakan yang terjadi disekitar kita adalah pola-pola seperti itu, orang miskin menggigit orang miskin lain. Contoh paling populer adalah: jika ada orang miskin membeli barang diswalayan maka mereka tak mungkin menawar harga, akan tetapi mereka akan menawar mati-matian jika belanja di toko kelontong tetangga atau pasar tradisional. Ya, meskipun terkadang orang miskin itu memang keterlaluan kalau cari laba, menaikkan harga sekenanya.
Kembali ke soal es krim dan si miskin menggigit si miskin yang lain.
Dengan tanpa mengurangi rasa simpati kepada para buruh pabrik yang diperlakukan tidak mengenakkan oleh perusahaan es krim ini. Namun saya tetap tak peduli jikapun pabrik dan perusahaannya memang bermasalah dengan karyawan yang, mungkin saja sebagian, secara ekonomi masih satu strata dengan saya. Sebab ini urusan antara perusahaan es krim, pemerintah dan ahli hukum yang membela atau menuntut perusahaan ini
Tapi, menurut saya, yang unik adalah: para pengusaha terkesan sengaja membiarkan atau memang meciptakan lingkaran setan ini. Sehingga si miskin selalu "memakan" si miskin lain melalui sarana dan fasilitas yang diciptakan pengusaha, juga pemerintah. Ya semisal melalui produk es krim harga murah tadi. Polanya seperti ini: Perusahaan menekan anggaran pada biaya gaji si miskin (yang bekerja sebagai buruh) dengan menggajinya semurah mungkin, namun dengan tuntutan kerja yang maksimal agar hasil produksi juga maksimal, sehingga output produksi yang dihasilkan lebih murah dan lebih terjangkau untuk dikonsumsi oleh si miskin lain sebagai konsumen. Ini, mungkin salah satu dampak dari ilmu "Homo homini lupus"nya Nietszche.
Pemerintah tak kalah unik. Pemerintah terkesan takluk kepada pengusaha dan tidak mau bertindak tegas atas tindakan pengusaha yang tidak sesuai aturan yang perundang-undangan yang berlaku. Tindakan tegas yang saya maksud adalah: menetapkan harga minimal es krim, misalnya. Hallah ndes, pemerintah kok kon ngurusi rego es krim?
Post a Comment