Guru-guru saya, sejak usia SD hingga kuliah, bahkan Guru-guru saya yang ada di warung kopi selalu mengingatkan untuk selalu istiqomah. "Istiqomah" dengan berbagai bentuk bahasa mereka yang intinya lakukan segala sesuatu dengan tetap, berkelanjutan dan selalu berusaha untuk berkembang.
Pernah saya menjumpai kata "istiqomah" diterjemahkan dengan lurus dan tetap. Tapi saya mengingkari terjemahan ini. Sebab, saya kira, jika hidup harus ditempuh dengan cara istiqomah yang diartikan sebagai lurus dan tetap maka hidup tidak akan berkembang. Maka, saya memilih istiqomah yang diterjemahkan sebagai melakukan segala sesuatu dengan tetap, berkelanjutan dan selalu berusaha untuk berkembang. Tapi, saya tidak tahu pasti mana terjemahan yang tepat untuk kalimat istiqomah ini, soalnya saat diajar tema istiqomah ini saya sedang tidur pulas di dalam kelas.
Menurut guru-guru saya, istiqomah ini memiliki kedahsyatan yang luar biasa. Batu yang keraspun bisa berlubang hanya karena air yang istiqomah menetes di atasnya. Sepeti kisah Ibnu Hajar Al-'atsqolani yang populer diceritakan di forum-forum pengajian. Tapi saya tidak akan menceritakannya, wong saya tidak hapal ceritanya.
Bahkan, sangking dahsyat dan hebatnya istiqomah saya pernah membaca sebuah buku (lebih tepatnya, saya menyimak buku yang dibacakan oleh seroang guru) untuk mengetahui seseorang itu wali atau bukan maka dilihat dari istiqomahnya bukan dari karomahnya; "al-istiqomatu khoiru min alfi karomatin", istiqomah lebih baik dari seribu karomah. Jika seseorang benar-benar istiqomah dalam melakukan sesuatu yang berhubungan dengan unsur kewalian, maka bisa dipastikan orang tersebut adalah wali.
Banyak motivator kesuksesan hidup mengatakan, jika kesuksesan dalam hidup kuncinya adalah istiqomah. Banyak kawan-kawan saya yang sukses dalam menjalani usahanya juga karena, salah satunya, istiqomah. Beberapa kawan saya, yang dulu bodohnya Masya Alloh, sekarang menjadi orang yang pandai, menjadi dosen, menjadi guru, menjadi teknisi, menjadi advokat, menjadi kepala sekolah, menjadi staf DPR dan lain sebagainya juga karena istiqomah.
Sedang saya? Saya Istiqomah juga, sih. Tapi istiqomah ndak jelasnya.
Oleh karena itulah, saya hampir tidak menjadi apa-apa karena saya sangat kesulitan jika harus melakukan sesuatu dengan istiqomah. Jika ada salah satu kawan saya yang memiliki ketertarikan dalam hal per-motoran, otomotif, dia dengan sungguh-sungguh dari awal hingga kini belajar dan bekerja dalam bidang tersebut, maka sekarang kawan saya tersebut bisa memiliki bengkel yang besar dan beberapa karyawan. Namun, tidak dengan saya.
Awalnya, saat saya masih SMP, saya sempat tertarik dengan dunia kesaktian. Melihat proses menjadi orang sakti ternyata sulit dan harus menahan lapar, belum sempat belajar kesaktian saya sudah mengurungkan niat untuk menjadi orang sakti. Lalu, saat di SMA (lebih tepatnya Aliyah), saya sempat ingin menjadi seorang yang intelek. Kala itu, saya sempat belajar sungguh-sungguh untuk menjadi intelektual. Apapun yang menurut saya berpotensi menjadikan saya intelektual, saya baca dan pelajari . Saya berharap, kelak jika saya kuliah dan lulus saya akan menjadi orang pandai dan, minimal, mengajak orang lain untuk pandai. Harapan yang mulia, sebenarnya. Namun, apa daya, pikiran saya ternyata bukan kelas pikiran intelektual. Otaknya ndak nutut. Akhirnya kuliahpun ndak lulus. Hehe...
Selama kuliahpun demikian. Saya mulai berkenalan secara akrab dengan makhluk yang bernama komputer, maka saya tertarik dengan dunia komputer. Karena kursus komputer perlu biaya mahal, sayapun belajar komputer secara otodidak, dengan memanfaatkan komputer milik UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) yang saya ikuti. Akhirnya sayapun bisa, tapi hanya sedikit, dan tak pernah maksimal hingga sekarang.
Selama berkenalan akrab dengan komputer saya menyadari, ternyata urusan dengan komputer tidak hanya masalah ketik-mengetik, servis dan instal tapi ada urusan desain. Maka sayapun tertarik dengan dunia desain. Saya belajar desain, lagi-lagi otodidak, karena kursus desain juga mahal. Akhirnya bisa, lagi-lagi sedikit, dan tak pernah bisa mendesain dengan baik sampai sekarang.
Selain karena tidak bisa menggambar sama sekali, selera warna sayapun selalu jelek, maka hasil desain saya, sudah bisa dipastikan, dibilang jelek saja belum pantas. Hal ini kemudian membuat saya malas melanjutkan belajar desain. Akhirnya, keahlian desain saya hanya seperempat dari seperempatnya seperempat keahlian desain standar.
Maka dari itu, saya beralih minat menjadi penulis yang kelihatannya lebih mudah, cukup mengetik dan menyusun kata-kata saja. Ketertarikan ini yang tidak pernah saya tekuni dengan baik dibanding ketertarikan saya yang lain. Sebab, saya lemah dalam menyusun logika dan argumen, perbendaharaan kata saya juga sedikit. Saya juga tidak bisa dengan baik menyusun dan menempatkan tanda baca pada tempatnya, maka hasilnya, ya seperti tulisan ini, tidak jelas dan amburadul.
...Pada akhirnya, saya sampai sekarang ya tetap seperti ini...
Post a Comment